Rabu, 12 Oktober 2011

PURA BESAKIH SEBAGAI PANGENTEG JAGAD

WACANA IDA PANDITA NABE
SRI BAGAWAN DWIJA WARSA NAWA SANDHI:

PURA BESAKIH SEBAGAI PANGENTEG JAGAD
Oleh Redaksi Newsletter Wahana Brahma Widya

Jalan Mayor Metra 71 Singaraja, Bali
brahmawidya.googlepages.com


Trihita Karana adalah suatu pedoman hidup yang didasarkan kepada keharmonisan hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan sesamanya, serta manusia dan lingkungannya agar tercapai kehidupan sejahtera lahir dan batin. Konsep yang kini menjiwa dalam tatanan masyarakat Bali ini dicetuskan kali pertamanya oleh Mp Kuturan pada abad kesebelas saat beliau menjabat sebagai pendeta kerajaan (purohita) Bali Aga yang saat itu diperintah oleh Warmadewa. Sumber-sumber sastra mengenai Trihita Karana dapat dijumpai dalam karya-karya Mpu Kuturan di antaranya Lontar Tutur Kuturan, Lontar Kusuma Dewa, dan Lontar Dewa Tattwa. Semua lontar tersebut ditulis oleh Mpu Kuturan pada saat beliau menjabat sebagai purohita.
Ida Pandita Sri Bhagawan Dwija, seorang pendeta terkemuka di Buleleng menyatakan bahwa sentral dari Trihita Karana sebenarnya adalah manusia, karena manusia memiliki kemampuan tri pramana (sabda, bayu, idhep) untuk memegang peranan penting dalam menjaga kelestarian dan keharmonisan antarsesama dan lingkungannya. “Jadi di sini sentralnya adalah manusia. Apabila hubungan manusia dengan Tuhan terjalin dengan baik dan harmonis, apabila hubungan manusia dengan manusia terjalin dengan harmonis, dan hubungan antara manusia dengan alam baik dan harmonis, maka terjaminlah kesejahteraan dan kebaikan kehidupan manusia itu sendiri,” jelas Ida Pandita ketika diwawancarai di kediaman beliau di Griya Taman Sari, Banyuasri.
Pengembangan pemikiran dari Mpu Kuturan mengenai Trihita Karana dapat kita baca dari kesimpulan beliau mengenai Trimurti, Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasiNya sebagai Brahma, Wisnu, dan Siva. Dari Trimurti inilah berkembang adanya trikahyangan yang dilangsir oleh beliau di setiap desa pakraman ada Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem. Kemudian dari sini pula berkembang Trihita karana. Wujud parahyangan dalam Trimurti (Trikahyangan) adalah hubungan manusia dengan Tuhan itu diwujudkan dalam adanya Pura Dalem, yaitu hubungan manusia dengan Sang Hyang Widhi dalam manifestasiNya sebagai Dewi Durga atau sakti Siva. Karena Siva dalam Agama Hindu di Bali itu adalah Tuhan, dengan kata lain di Bali adalah penganut Hindu dari sekte Siva Siddhanta, maka dalam pemahaman Siva Siddhanta, Tuhan itu adalah Siva. Maka, sakti dari Siva berwujud sebagai devi Durga yang distanakan di Pura Dalem. Hubungan manusia dengan Tuhan terwujud pada Pura Dalem. Kedua, hubungan manusia sesama manusia terwujud pada stana Bhattara Brahma di Pura Desa. Pura Desa adalah pura milik desa, di mana di dalam kegiatan pura terjadi interaksi selain kepada Sang Hyang Widhi juga interaksi kepada sesama krama desa. Jadi di sini perwujudan hubungan antara manusia dengan manusia. Kemudian, hubungan manusia dengan alam atau palemahan itu terwujud dalam Pura Puseh, stana Bhattara Wisnu oleh karena Wisnu adalah dewa yang memberikan kehidupan kepada umat manusia dan salah satu sumber kehidupan yang terpenting adalah air. Oleh karena itulah Pura Puseh disebut sebagai manifestasi dari konsep Trihita Karana dalam unsur palemahan.

Berbicara mengenai konsep Trihita karana, utamanya zaman sekarang, berarti berbicara mengenai relevansi. Trihita karana memang merupakan sebuah konsep yang luhur yang diteruskan oleh leluhur kita di masa lalu, untuk membangun masyarakat sejahtera dalam kehidupan sekala maupun niskala. Namun zaman sekarang, konsep Trihita Karana telah menyimpang dari segi pelaksanaannya. Kita semua mengetahui kosep yang berpedoman kepada keharmonisan manusia dengan alam, sesama, dan Tuhan itu, namun dewasa ini, masyarakat sepertinya baru mengenal hanya sebatas teori saja. Bagaimana penerapannya? Katakanlah belum sempurna. Jangankan peraturan tidak membuang sampah ke sungai sebagai wujud keharmonisan manusia dengan alamnya, dalam mengadakan upacara yadnya pun kita sering bertengkar.
“Konsep ini sangat relevan dan berlanjut terus. Bahkan tidak hanya relevan di Bali saja, tetapi juga di Nusantara bahkan di seluruh dunia, dan ini applicable sepanjang masa, karena memang itu adalah inti-inti yang diambil dari Rgveda oleh Ida Mpu Kuturan,” tegas Ida Pandita. Konsep ini sebenarnya telah ada dalam Rgveda, hanya saja di Rgveda tidak jelas disebutkan kalimat-kalimat Trihita karana, tetapi Mpu Kuturanlah yang pertama kali mencetuskan istilah Trihita karana itu yang berintisari dari Veda. Jadi kita mengetahui bahwa Veda itu mengandung kebenaran yang hakiki, kebenaran yang mutak. Oleh karena itu, apa yang ditulis dalam ayat-ayat Veda berlaku untuk umat manusia di seluruh dunia dan merupakan suatu kebenaran yang tidak bisa dibantah.
Beralih ke masalah Trihita Karana dalam kaitannya dengan kasus Pura Besakih yang kabarnya akan disaingkan dengan lapangan golf. Bagaimana dampak pembangunan lapangan golf tersebut (jika seandainya jadi) dengan Pura Besakih? “Besakih itu yang merupakan Pura Pangenteg Jagad, merupakan pura induk yang sangat sakral,” demikian jawaban Ida Pandita. Beliau juga menuturkan perihal sejarah Gunung Agung yang dikaitkan dengan keberadaan Pura Besakih sebagai pura Pangenteg Jagad.
Keberadaan Pura Besakih tidak lepas dari Gunung Agung sebagai gunung tertinggi di Pulau Bali. Ida Pandita menyatakan bahwa Gunung Agung  memiliki sejarah dan mitologi tersendiri yang menyatakan kesuciannya. Sebagai contoh ditemukan dalam Babad Pasek dan Bendesa, bahwa Gunung Agung pada hakikatnya adalah saudara dari Gunung Mahameru di Jambudwipa (India), bersama-sama dengan Gunung Rinjani, Gunung Batur, dan Gunung Semeru.
“Untuk itu kita mengambil sumber dari Babad Pasek dan Bendesa, di mana pendahuluan Babad Pasek dan Bendesa menceritakan keadaaan Bali yang pada awalnya hanya mempunyai gunung yaitu di timur Gunung Lempuyang, di selatan Gunung Andakasa, di barat Gunung Watukaru, dan di utara Gunung Mangu dan Gunung Bratan,” tutur Ida Pandita. Oleh karena hanya mempunyai gunung seperti itu, maka Bali menjadi goncang. Bhattara Pasupati (dalam hal ini sebagai wujud Sang Hyang Widhi) berkeinginan agar Bali ini tidak goncang. Maka, bagian gunung Mahameru dibawa ke Bali, di mana Bhattara Badhawang Nala diperintahkan untuk bertahan di pangkal gunung, sedangkan Naga Anantabhoga dan Wasuki menjadi tali pengikat gunung itu. Naga Taksaka yang menerbangkan puncak gunung Mahameru kemudian diturunkan di Bali pada Kamis Mrakih, sasih Kadasa, bulan mati, rah 1, tenggek 1, tahun Saka 11 atau tahun 87 sebelum masehi. Kemudian setelah Mahameru didudukkan di tengah-tengah pulau Bali sebagai gunung Agung atau Toh Langkir, maka pada hari Selasa Kliwon wuku Kulantir sasih Kalima pada bulan purnama tahun saka 31, atau 20 tahun setelah distanakan, Gunung Agung Meletus. Dari letusannya itu terciptalah Gunung Lebah atau Gunung Batur. Jadi, dalam mitologi ini, Gunung Agung melahirkan gunung Batur. Ini disebut di dalam prasasti-prasasti lama bahwa Gunung Agung adalah Purusa, Gunung Lebah (Gunung Batur) adalha Pradhana. Sehingga hukum alam yang dinamakan Rwa Bhinneda terwujud dalam kedua gunung itu.  
Oleh karena itu pula Sang Hyang Pasupati bersabda bahwa Mahameru, Gunung Agung, dan Gunung Ulun Danu, atau Gunung Lebah itu adalah bersaudara. Sebelumnya perlu dijelaskan lagi bahwa Gunung Mahameru itu tidak hanya menciptakan Gunung Agung tetapi juga Gunung Semeru dan Gunung Rinjani. Oleh karena itu sampai sekarang pemeluk Hindu di Bali sangat yakin bahwa Gunung Semeru, Gunung Agung, dan Gunung Rinjani itu bersaudara.Dengan demikian maka di gunung-gunung ini pun diyakini berstana Sang Hyang Pasupati dengan Putra-Putra Beliau yaitu Mahadewa (Hyang Putrajaya, red.), Hyang Gnijaya, kemudian Dewi Danu.
Sekaligus juga karena di Gunung Agung dibangun Pura Besakih, maka Pura Besakih itu yang merupakan Pura Pangenteg Jagad, merupakan pura induk yang sangat sakral.
 Mengenai pembangunan lapangan golf di Besakih, Ida pandita menyatakan bahwa ada beberapa syarat pembangunan di sekitar areal pura agar tidak mengganggu kesucian pura bersangkutan. Beliau menjelaskan bahwa PHDI Pusat pada tahun 1959 sudah mengeluarkan Bhisama bahwa kawasan suci hendaknya dilindungi. Perlindungan itu antara lain dengan jarak, sehingga waktu itu timbul istilah jarak dari pura yang kita sakralkan ke tempat-tempat hunian, perumahan penduduk, apalagi tempat-tempat lain (hotel, dsb) yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan kegiatan keagamaan hendaknya mengambil jarak dari pura bersangkutan. Jarak itu tergantung dari besar-kecilnya pura. “Ada jarak yang dinamakan apanimpug, apaneleng, dan apangambuan,” papar Ida Pandita. Apanimpug adalah jarak yang dapat dicapai hasil dari lemparan batu sebesar genggaman tangan dari laki-laki dewasa. Kemudian apangambuan (ambu) artinya mencium. Jadi tidak boleh ada kegiatan di luar keagamaan yang baunya sampai tercium ke pura itu, seperti kandang babi. Tidak boleh bau kotoran babi itu sampai tercium ke pura. Ini tentu jaraknya relatif. Apabila pura itu berada di puncak bukit, maka dengan sendirinya bau itu akan terbawa oleh angin. Berapa jaraknya ini tidak ditentukan dalam meter. Yang ketiga, jarak yang disebut apaneleng. Apaneleng ini artinya apabila kita melihat sesuatu sampai kabur, kita tidak bisa lagi melihat pada jarak tertentu yang tidak terhalang oleh tembok atau pohon-pohonan. Demikian pula dalam hubungannnya dengan tempat-tempat suci, maka dalam jarak apaneleng tidak boleh ada kegiatan-kegiatan yang tidak berhubungan dengan keagamaan.
“Kembali kepada pertanyaan bahwa pembangunan lapangan golf di areal Besakih apakah itu tidak mengganggu jarak apaneleng?” ujar Ida Pandita, “Keberadaan lapangan golf mungkin lolos dari satuan apangambuan karena lapangan golf tidak berbau. Kalau misalnya apanimpug, mungkin lolos, artinya tidak mungkin orang bisa melempar batu sejauh satu kilometer (misalnya. red), tapi kalau apaneleng, karena jarak apaneleng itu pada lapangan yang terbuka bisa mencapai tiga, empat, atau lima kilometer. Apabila ini dilanggar, maka nilai sakral dari pura itu akan tercemar.” Kemudian yang penting adalah pengaruhnya kepada umat Hindu di Bali. Mereka akan merasa pura yang besar itu akan tercemar oleh kegiatan lapangan golf itu.
Pura Besakih adalah pura yang sangat disucikan oleh umat Hindu. Pembangunan di areal pura, terutama yang tidak berkaitan dengan kegiatan keagamaan dapat mendatangkan ketidaksucian bagi pura tersebut. Sebuah pura memancarkan vibrasi kesucian dan keharmonisan yang idcari banyak orang. Pura adalah sentral spiritual di mana dengan kehadiran pura, maka masyarakat yang berdiam di wilayah tersebut akan merasakan suatu keharmonisan. Apabila keharmonisan itu diganggu, muncullah berbagai masalah, baik sekala maupun niskala. Pembangunan lapangan golf di Besakih hendaknya memerhatikan aspek keselarasan dan kesucian. Jangan sampai daerah suci tersebut tercemar dengan kehadiran pembangunan itu. Proyek tersebut hendaknya dipindahkan ke daerah lain yang memerlukan pengembangan.




0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Riska Wiradarma